Jumat, 01 Oktober 2010

Muhammad Faisal Ramadhan XI IPA 3

Mana yang Lebih Utama, Naik Haji atau Menyantuni Anak Miskin?



Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Apa yang anda tanyakan ini sesungguhnya masuk dalam wilayah fiqih prioritas. Yaitu sebuah teknik menganalisa prioritas-prioritas dalam beribadah. Kajian ini banyak dibicarakan oleh para ulama dan ditulis dalam banyak kitab. Salah satu icon yang bisa kita sebut dalam Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang telah menulis satu kitab khusus dengan judul Fiqih Prioritas.

Kajian ini mencoba menggugah perasaan dan pemikiran yang selama ini dianggap agak kurang seimbang dan kurang adil. Salah satunya tentang kebiasaan ibadah haji yang dilakukan oleh berjuta umat Islam, di mana mereka sebenarnya sudah pernah berhaji wajib sebelumnya, namun bertekad tiap tahun untuk berhaji lagi.

Niat untuk berhaji tiap tahun sebenarnya tidak salah. Sebab ibadah haji memang boleh dibilang sebagai puncak rasa cinta dan ketundukan kita kepada Allah SWT.

Namun yang mengusik rasa keadilan dan rasa solidaritas para ulama adalah ketimpangan sosial yang sangat mencolok. Salah satu fenomenanya demikian: pada saat berjuta orang mengejar pahala ibadah haji sunnah yang bukan wajib dengan biaya yang bermilyar, di belahan bumi lain kita menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana sebagian umat Islam mati kelaparan, baik karena bencana atau pun korban perang.

Saat orang-orang kaya dengan ringannya bolak balik ke tanah suci untuk beri’tikaf Ramadhan, masih banyak anak-anak umat Islam yang tidak sekolah karena tidak ada biaya. Mereka akan segera menjadi sampah masyarakat bila dibiarkan tumbuh tanpa pendidikan.

Saat orang kaya muslim berlomba mendirikan banguan masjid yang megah, berhias marmer tak ternilai harganya, jutaan umat Islam sedang dimurtadkan oleh para misionaris palangis.

Perbandingan fenomena yang timpang ini tentu sangat mengusik rasa keadilan dan rasa sosial para ulama. Sehingga sebagian mereka menghimbau agar lebih memperhatikan masalah ini.

Bukankah haji yang mereka kerjakan itu bukan haji wajib? Bukankah kewajiban haji mereka sudah gugur? Bukankah biaya haji itu tiap tahun itu akan jauh lebih bermanfaat dan berbekas bila digunakan untuk memberi makan korban bencana alam dan korban perang, yang hukumnya fardhu?

Bukankah biaya umrah Ramadhan tiap tahun itu sangat besar, padahal hukumnya hanya sunnah dan berdimensi sangat pribadi? Seandainya uang jutaan mu’tamirin untuk sekali bulan Ramadhan itu sepakat dikumpulkan untuk membangun proyek sekolah gratis di dunia Islam, sudah lebih dari cukup?

Bukankah masjid di banyak kota di negeri ini sudah sangat banyak? Bahkan tidak jarang dalam jarak yang sangat dekat terdapat beberapa masjid sekaligus, sehingga jumlah jamaah yang shalat di masing-masing masjid jadi sedikit?

Mengapa dana membangun masjid yang bermilyar itu tidak digunakan untuk melindungi saudara-sudara kita yang sedang mengalami proses pemurtadan? Bukankah melindungi iman jauh lebih penting dari sekedar bermegahan dan berlomba membangun masjid yang sudah terlalu penuh?

Semua pemikiran kritis ini sama sekali tidak berniat untuk mengecilkan nilai ibadah haji, umrah dan membangun masjid. Akan tetapi perlu diketahui bahwa haji berkali-kali tiap tahun, demikian juga dengan umrah serta kemegahan masjid, bukanlah amal yang bersifat wajib. Sementara memberi makan korban bencara alam, memberikan pendidikan serta melindungi iman dari kemurtadan, hukum fardhu.

Maka sesuatu yang fardhu dan bersifat massal harus lebih dipriorotaskan dari ibadha yang hukumnya sunnah lagi berdimensi individual.

Sayangnya kesadaran akan hal seperti ini masih kurang di tengah umat Islam, terutama di kalangn orang-orang kaya di antara mereka. Buktinya, jamaha haji yang sudah gugur kewajiban hajinya masih tetap memaksa berangkat haji tiap tahun. Umrah Ramadhan tiap tahun pun tidak kalau berjejalnya dengan musim haji. Semua ini tentu sangat menggugah rasa keadilan, bahkan sangat tidak memenuhi kaidah fiqih prioritas, lantara ada sejumlah orang yang ngotot mengejar pahala sunnah dan indvidual dengan meninggalkan kewajiban yang lebih asasi dan bersifat jama’i.

Karena itu kampanye dan sosialisasi fiqih proritas perlu terus digalakkan, terutama oleh kalangan ustadz dan para penceramah, yang punya akses penuh kepada khalayak umat Islam.

Wallahu a”lam bishshawab, wassalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh

4 komentar:

  1. Moh. Dewa Bantoro (14)
    XI IPA 5

    Artikelnya bagus , jelas dan lugas karena artikel tersebut dapat menyadarkan kita untuk tidak berbuat berlebih-lebihan. salah satu fakta yang banyak terdapat di lingkungan kita adalah banyak orang yang telah melakukan ibadah haji secara berulang kali namun di lingkungan sekitarnya masih banyak terdapat saudara muslim kita yang kelaparan dan tidak dapat melanjutkan pendidikan karena faktor kemiskinan. padahal ibadah haji hukum wajibnya hanya dilakukan satu kali dan jika sudah dilakukan berulang kali maka ibadah haji itu hukumnya sunah. jadi dari pada kita membuang uang banyak untuk melakukan ibadah haji yang ke sekian kali lebih baik kita menyisihkan uang kita untuk mambantu saudara kita yang hidupnya masih kekurangan, karena hal itu manfaatnya akan lebih besar.

    BalasHapus
  2. m fikry n
    11 ipa 5 no absen 16

    sebenarnya artikelnya sudah bagus, mengajak kita untuk tidak berlebih lebihan dan selalu merasa cukup dan mensyukuri apapun pemberian Allah.
    namun artikel ini tidak didukung oleh hadits yang shahih atau firman Allah yang tidakdiragukan lagi.

    BalasHapus
  3. WIDIASTUTI SUROYAH
    KELAS XI IPA 5
    NO ABSEN 30


    MENURUT SAYA , ARTIKEL INI SUDAH BAGUS, AGAR KITA HIDUP SECARA CUKUP DAN MENSUKURI KENIKMATAN DARI ALLAH.

    BalasHapus
  4. yuniar widya pratiwi (32)
    xi ipa 5

    menurut saa sudah bagus hana terlalu panjang sehingga maksudnya kurang tersampaikan ..

    BalasHapus