Minggu, 26 September 2010

Dini Durriatiningsih IPA7

Berlomba-lombalah dalam Kebaikan

            Rasulullah Saw bersabda, “Bersegeralah kamu beramal saleh, karena akan datang (terjadi) fitnah-fitnah seperti serpihan malam gulita, di mana seseorang pada pagi hari beriman, namun sore harinya kafir, sore hari beriman pada pagi harinya kafir. Ia rela menjual agamanya dengan harta benda dunianya.”
Adalah menjadi perhatian penting bagi kita untuk merenungkan dan menangkap pesan Rasulullah Saw. yang termaktub dalam hadits di atas, tentang fitnah besar yang akan terjadi dan bakal menggoncang kehidupan manusia. Karena begitu dahsyatnya goncangan fitnah itu, sampai menyentuh “teritorial” keimanan. Bahkan divisualisasikan seorang mukmin akan dapat berubah ideologi agamanya dalam sehari, pagi beriman sore hari kafir, sore hari beriman pagi hari menjadi kafir. Agaknya goncangan-goncangan itu mulai tampak tanda-tandanya dalam kehidupan kita dewasa ini, walaupun belum begitu menyentuh substansi yang dimaksud, atau bahkan mungkin sudah.
           
Betapa telah kita baca di media masa tentang kondisi pada sementara masyarakat Indonesia saat ini yang tiba-tiba berubah menjadi brutal dan ganas, dikarenakan hanya isu yang tak jelas sumbernya. Atau kita baca berita menyedihkan tentang saudara-saudara kita di Sidoarjo yang hampir genap setahun terkena bencana lumpur Lapindo, yang sampai saat ini belum mendapatkan ganti rugi atas hilangnya tempat tinggal dan juga mata pencaharian mereka. Ironis sekali kehidupan mereka hingga datang ke Jakarta menemui Presiden SBY dengan harapan dapat membantu mereka untuk mendapatkan hak-hak yang semestinya mereka terima.
Memperhatikan pesan Rasulullah Saw. melalui hadits di atas, langkah yang patut dilakukan pada saat kondisi seperti itu adalah berlomba-lomba dalam beramal saleh dan kebaikan.

            Dengan cara mengingatkan masyarakat akan pentingnya mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan dalam kehidupan, yaitu dengan tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis yang dapat menghilangkan nyawa. Langkah ini penting untuk kita tindaklanjuti sebagai upaya antisipasi agar kondisi yang semakin carut-marut itu tidak menjadi lebih parah, apalagi sampai menjadi fitnah agama yang sangat membahayakan.
Bertindak secara bijaksana dan memperbanyak amal saleh sebagai salah satu antisipasi yang dapat dilakukan dengan kemampuan dan kedudukan masing-masing. Yang terpenting adalah, adanya wujud kesadaran dan kepedulian yang setara antar sesama muslim sehingga tidak terjadi ketimpangan dan keganjalan.

           









            Agar terciptanya kondisi yang kondusif, maka yang terpenting saat ini adalah mensosialisasikan pesan moral yang termaktub dalam surat Al-‘Ashr. Allah Swt. berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman da mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati agar mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati agar selalu bersabar.“
Berdasarkan ayat di atas, ada tiga hal penting dan tak pelak lagi harus dilakukan oleh manusia, yaitu berpegang teguh pada keimanan, memperbanyak amal saleh, nasehat-menasehati agar tetap selalu dalam kebenaran dan kesabaran. Sebagai orang muslim, kita sangat dituntut untuk mampu melaksanakan pesan yang termaktub dalam Kalam Allah di atas, bahkan kita harus menjadi pelopor untuk mengajak manusia kembali kepada ajaran agama, agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi. Sungguh tepat apa yang ditulis ‘Aid bin Abdullah al-Qorny dalam bukunya “Hatta Takuna As’ad an-Nas”,bahwa kebahagian itu adalah ketika kita mampu melerai perpecahan, menghilangkan sikap saling memusuhi, aktif beramal saleh, dan menjauhkan diri dari keinginan syahwat yang menggebu-gebu.

Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa berbuat kebaikan dan melakukan amal saleh dapat dilakukan dengan berbagai media dan kesempatan menurut kemampuan masing-masing. Jika kita hanya mampu menyumbangkan pikiran, maka kemampuan ini harus dapat dioptimalkan untuk kebaikan dan amal saleh, dengan cara memberikan solusi terbaik atas setiap permasalahan yang dapat merusak keharmonisan antar kita. Jika kita mampu denga harta, maka marilah kita “belanjakan” untuk segala hal-hal yang menyangkut kebaikan, minimal mampu membantu saudara-saudara kita yang lemah dan mudah ‘goyah’ imannya. Yang penting, kita dapat berbuat baik dan bermanfaat bagi agama kita, dan amal baik itu akan dapat kita petik hasilnya kelak di akhirat.
Dengan berlomba-lomba melakukan amal saleh berarti kita telah ikut mencegah fitnah besar yang merongrongi umat Islam, bahkan mengancam akidah mereka. Dan ini merupakan gaung yang memiliki andil yang sangat besar dalam kehidupan dan kebahagian umat Islam.

Dalam surah Al-Isra’ Ayat 26-27
Artinya :
·         26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
·         27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Kandungan Surah Al-Isra’ Ayat 26-27
Allah Swt memerintahkan seorang muslim memberikan hak kepada keluarga, Orang miskin, dan orang yang sedang perjalanan.
Hak yang harus dilakukan seorang muslim terhadap keluarga dekat, orang
miskin, dan orang yang sedang dalam perjalanan adalah mempererat tali
persaudaraan dan hubungan kasih sayang, serta membantu meringankan beban
penderitaan yang mereka alami.
Hak keluarga dekat misalnya memperoleh penghormatan, kasih sayang, mengunjungi apabila tertimpa musibah, dan ikut gembira ketika memperoleh nikmat.
Hak fakir miskin, misalnya memperoleh sedekah, disayangi, dikasihani, dan membantu meringankan beban penderitaannya.
Hak ibnu sabil/orang yang dalam perjalanan dengan tujuan baik adalah memberikan bantuan dan pertolongan agar tujuan mereka tercapai.




Maksud dari menyantuni kaum duafa ialah memberikan harta atau barang yang bermanfaat untuk duafa, kaum duafa sendiri ialah orang yang lemah dari bahasa Arab (duafa) atau orang yang tidak punya apa-apa, dan mereka harus disantuni bagi kewajiban muslim untuk saling memberi, itu sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt perlu digaris bawahi, bahwa “memberi” tidak harus uang malah kita berikan makanan bisa tapi nanti ibadahnya akan mengalir terus seperti halnya infak dan kalau sudah diberi akan jadi tanggung jawab orang miskin itu, misal saja barang yang diberikan digunakan untuk beribadah kepada Allah atau hal positif lainnya akan terkena pahala yang sama, ketika Dia gunakan tadi, sebaliknya degan digunakan mencopet atau judi kita tidak akan mendapat pahala buruk dari orang miskin itu insya Allah pahalanya tidak akan berkurang setelah memberi kepada orang miskin itu gunakan.
Menurut para ulama menyantuni kaum duafa akan menyelamatkan diri kita dari api neraka, tapi sekarang banyak manusia yang segan megeluarkan hartanya untuk berinfak pada kaum duafa, tapi ada juga yang selalu membantu kaum dufa itu, bukan saja yang berarti duafa pada orang miskin juga bisa pada misalnya ; panti asuahan, membangun masjid, kepada diri sendiri, anak yang putus sekolah biayai pendidikannya sampai tingkat SMA , dan keluarga dekat serta orang yang sedang perjalanan, ini sama dijelaskan pada surat Al-isra’ ayat 26-27.


1 komentar:

  1. Anisa Komaryah (02) XI IPA 5

    Mengenai Menyantuni kaum dhuafa, Kita sebagai umat muslim memang diharuskan untuk saling membantu terutama bagi kita yang berada dalam segala kecukupan baik materi maupun maknawi. Dan menurut saya salah satu upayanya yaitu dengan bersodaqoh. Karena sesungguhnya banyak sekali keajaiban-keajaiban dari bersodaqoh itu sendiri. Tidak sedikit pengalaman-pengalaman menakjubkan dari para pelaku sodaqoh yang seharusnya itu semua menjadi pelajaran bagi kita, bahwa dengan membantu ataupun bersodaqoh baik harta maupun bukan harta tidak akan menyebabkan kemiskinan pada kita selagi kita melakukannya dengan niatan ikhlas karena mengharapkan ridho Allah SWT.

    Menurut buku yang saya baca (Kholid Bin sulaiman Ar-Rob'i "Shodaqoh Memang Ajaib"), terdapat hukum-hukum menganai sodaqoh, diantaranya :
    Pertama, harta yang disodaqohkan hendaknya harta yang baik dan diperoleh dengan cara yang baik.
    Kedua, hendaknya sodaqoh tersebut berasal dari orang kaya, karena tidak selayaknya manusia menshodaqohkan harta yang masih ia butuhkan, sehingga hal ini tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi dirinya.

    Jadi pada intinya, selagi kita mampu janganlah kita ragu-ragu untuk mengeluarkan sebagian harta yang kita miliki di jalan Allah. Dengan demikian, kerja keras kita tidak hanya berguna di dunia tapi juga di akherat.

    Dan sebagaimana Hadist yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh,
    "Berinfaklah wahai anak Adam niscaya aku akan memberimu ganti"

    Itulah janji Allah, dan Allah akan selalu menepati janjinya. Jika tidak di dunia maka Allah akan membalasnya di akherat kelak.

    BalasHapus