Senin, 27 September 2010

Prita Ramadiani / XI IPA 1

Oleh: Prita Ramadiani / XI IPA 1


1. Berlomba-lomba dalam kebaikan

Setiap umat mempunyai kiblatnya masing-masing. Umat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menghadap ke ka’bah, Bani Israil dan orang-orang Yahudi menghadap ke Baitul Maqdis, dan Allah telah memerintahkan supaya kaum muslimin menghadap ka’bah dalam shalat. Oleh karena itu, hendaknya kaum muslimin bersatu, bekerja dengan giat, beramal, bertobat dan berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan dan tidak menjadi fitnah atau cemooh dari orang-orang yang ingkar sebagai penghambat. Allah akan menghimpun seluruh manusia untuk dihitung dan diberi balasan atas segala perbuatannya. Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan tidak ada yang dapat melemahkannya untuk mengumpulkan seluruh manusia pada hari pembalasan.
             Fastabiqul Khoirot artinya berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Adapun berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan berarti menaati dan patuh untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya dengan semangat yang tinggi. Allah akan membalas orang yang beriman meskipun amal tersebut seberat biji zarrah. Berbuat kebaikan terdiri dari yang berhubungan dengan Allah seperti salat, zakat, puasa, haji, maupun perintah yang berhubungan dengan manusia, seperti, bersedekah, dan perbuatan yang bermanfaat bagi manusia lain.  Berbuat baik dan suka menolong maka surga berada didalamnya kekal selama-lamanya.
Dalam ayat ini Allah memerintahkan fastabiqul khahiraat (berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan). Imam An Nawawi dalam kitabnya Riyadhush shalihiin meletakkan bab khusus dengan judul: Babul mubaadarah ilal khairaat wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqbaali ‘alaihi bil jiddi min ghairi taraddud (Bab bersegera dalam melakukan kebaikan, dan dorongan bagi orang-orang yang ingin berbuat baik agar segera melakukannya dengan penuh kesungguhan tanpa ragu sedikitpun). Dan pendapat Imam An Nawawi tentang ayat tersebut adalah, sebagai berikut:
Pertama, bahwa melakukan kebaikan adalah hal yang tidak bisa ditunda, melainkan harus segera dikerjakan. Sebab kesempatan hidup sangat terbatas. Kematian bisa saja datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Karena itu semasih ada kehidupan, segeralah berbuat baik. Lebih dari itu bahwa kesempatan berbuat baik belum tentu setiap saat kita dapatkan. Karenanya begitu ada kesempatan untuk kebaikan, jangan ditunda-tunda lagi, tetapi segera dikerjakan. Karena itu Allah swt. dalam Al Qur’an selalu menggunakan istilah bersegeralah, seperti fastabiquu atau wa saari’uuyang maksudnya sama, bergegas dengan segera, jangan ditunda-tunda lagi untuk berbuat baik atau memohon ampunan Allah swt. Dalam hadist Rasulullah saw. Juga menggunakan istilah baadiruumaksudnya sama, tidak jauh dari bersegera dan bergegas.
Kedua, bahwa untuk berbuat baik hendaknya selalu saling mendorong dan saling tolong menolang. Imam An Nawawi mengatakan: wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqabaal ‘alaihi. Ini menunjukkan bahwa kita harus membangun lingkungan yang baik. Lingkungan yang membuat kita terdorong untuk kebaikan. Lebih dalam jika kita renungkan makna ayat fastabiquu kita akan menemukan makna bahwa di mana kita memang harus menciptakan lingkungan. Sebab dalam kata tersebut terkandung makna “berlombalah”. Dalam perlombaan tidak mungkin sendirian, melainkan harus lebih dari satu atau lebih. Maka jika semua orang berlomba dalam kebaikan, otomatis akan tercipta lingkungan yang baik.
Ketiga, bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus didukung dengan kesungguhan yang dalam. Imam An Nawawi mengatakan: bil jiddi min ghairi taraddud . Kalimat ini menunjukkan bahwa tidak mungkin kebaikan dicapai oleh seseorang yang setengah hati dalam mengerjakannya. Rasulullah saw. bersabda: baadiruu fil a’maali fitanan ka qitha’il lailill mudzlim, yushbihur rajulu mu’minan wa yumsii kaafiran, ,wa yumsii mu’minan wa yushbihu kaafiran, yabi’u diinahu bi ‘aradhin minad dunyaa(HR. Muslim). Dalam hadits ini Rasulullah saw. mendorong agar segera beramal sebelum datangnya fitnah, di mana ketika fitnah itu tiba, seseorang tidak akan pernah bisa berbuat baik. Sebab boleh jadi pada saat itu seseorang dipagi harinya masih beriman, tetapi pada sore harinya tiba-tiba menjadi kafir. Atau sebaliknya pada sore harinya masih beriman tetapi pada pagi harinya tiba-tiba menjadi kafir. Agama pada hari itu benar-benar tidak ada harganya, mereka menjual agama hanya dengan sepeser dunia.


2. Menyantuni kaum duafa

Maksud dari menyantuni kaum duafa ialah memberikan harta atau barang yang bermanfaat untuk kaum duafa. Kaum duafa sendiri ialah orang yang lemah dari bahasa Arab (duafa) atau orang yang tidak punya apa-apa, dan mereka harus disantuni bagi kewajiban muslim untuk saling memberi. itu sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt. Perlu digaris bawahi, bahwa “memberi” tidak harus uang malah kita bisa memberikan barang apa saja. Seperti halnya infak, kalau sudah diberi itu akan menjadi tanggung jawab orang miskin itu. Misal saja barang yang diberikan digunakan untuk beribadah kepada Allah atau hal positif lainnya, maka pemberi akan terkena pahala yang sama. Sebaliknya jika digunakan hal yang negatif seperti mencopet atau berjudi judi, kita tidak akan mendapat pahala buruk dari orang miskin itu. insya Allah pahalanya tidak akan berkurang setelah orang miskin itu menggunakannya.
Dan menurut para ulama, menyantuni kaum duafa akan menyelamatkan diri kita dari api neraka. Tapi sekarang banyak manusia yang segan megeluarkan hartanya untuk berinfak kepada kaum duafa. Tapi ada juga yang selalu membantu kaum duafa itu. Bukan saja yang berarti kaum duafa seperti anak panti asuahan, anak yang putus sekolah, pengemis di jalanan, tetapi juga keluarga dekat serta orang yang sedang perjalanan. Ini sama dijelaskan pada surat Al-isra’ ayat 26-27.
Berkiprah di tengah-tengah kaum dhu’afa, belajar dari Nabi ini, adalah tak kurang daripada perjalanan spiritual untuk menemui-Nya. Katanya: ”Temui (Dia) di tengah-tengah mereka.”
Meski perbudakan adalah sesuatu yang lazim di masanya, perlakuan Muhammad s.a.w. kepada mereka tak beda dengan terhadap manusia merdeka. Seorang budak perempuan yang bersedih karena menghilangkan uang belanja majikannya membuatnya mau menunda aktivitasnya. Digantinya uang yang hilang, diantarnya si budak ke pasar untuk membeli barang suruhan majikannya, dan ditemaninya pulang ke rumah demi menghindarkan kemarahan sang tuan akibat keterlambatan yang lama. Begitu baiknya ia kepada budaknya sendiri, Zaid ibn Haritsah, sehingga sang budak tetap memilih tinggal bersamanya bahkan ketika ia hendak diserahkan kembali kepada orangtuanya sebagai manusia merdeka. Kata sang budak, sepanjang hidupnya Muhammad tak pernah menunjukkan kekesalan kepadanya.
Rasa pemaafnya nyaris tanpa batas. Dia menjenguk musuh yang terus menghina dan menyiraminya dengan kotoran ketika si musuh didapatinya terbaring sakit. Dia menyuapi Yahudi tunanetra yang setiap hari mencacinya. Dan dia memberikan amnesti tanpa syarat kepada kaum penindas Makkah yang telah berupaya menyengsarakan hidupnya, justru ketika dia bisa melakukan apa saja setelah menaklukkan mereka. Ketika Jibril bertanya, apakah Nabi mau agar ia (Jibril) jatuhkan gunung kepada orang-orang yang menganiayanya di Tha’if, dia malah memintakan ampun atas merka. ”Karena mereka tidak mengerti,” katanya.
Tak hanya ketika di dunia saja Muhammad mempersembahkan hidupnya untuk manusia. Di ranjang-kematiannya, kata-kata yang terus terucap adalah: ”Umatku …umatku ….” Bahkan, dikabarkan bahwa, kelak di padang mahsyar sana, ketika semua orang bukan alang-kepalang kebingungan dan ketakutan, ketika ibu-ibu pun melupakan anak-anaknya karena dahsyat dan mencekamnya suasana, yang dia lakukan adalah memanggil semua orang – termasuk para pendosa: ”Halumma … halumma … (Kemarilah … kemarilah …). Biar aku berikan syafa’atku kepadamu, agar Tuhan mengampuni dosa-dosamu.”
Begitu kasihnya Muhammad pada manusia sehingga dia katakan bahwa Tuhannya ada bersama orang-orang lemah, orang-orang yang hancur hatinya, orang-orang lapar, orang-orang yang terasing dan kesepian, dan orang-orang sakit. Bahkan, tak ada Islam yang lebih utama ketimbang menyantuni mereka.
”Apakah Islam yang paling baik itu?” ia ditanya.
Islam yang paling baik adalah memberi makan orang yang lapar dan menebarkan kedamaian di tengah orang-orang yang kau kenal maupun yang asing,” jawabnya.
Suatu kali ia pun mengajar kita: ”Barangsiapa menyayangi apa-apa yang ada di bumi, dia akan disayangi Yang di Langit.”
Kedermawanan-hatinya tak mengecualikan manusia, bahkan makhluk lain yang bukan manusia. Sudah terkenal perintahnya agar manusia tak merusak tetumbuhan, meskipun dalam kecamuk perang. Pernah dia kabarkan pula ihwal seorang pelacur yang diampuni dosa-dosa-kejinya hanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Hingga sabdanya: ”Dalam setiapyang di dalamnya melata kehidupan, ada ganjaran.”Kepada orang kafir pun tak kurang-kurang ia luapkan kedermawanan hatinya.
            Selain mengenai anjuran untuk menyantuni kaum duafa, pada surat Al-Isra  26-27 juga terdapat larangan berperilaku boros. Isrof adalah Melampui batas dalam segala perbuatan yang dikerjakan oleh manusia sekalipun hal tersebut lebih mashur berhubungan dengan pengeluaran dalam pembelajaan harta. Yang termasuk perilaku boros adalah menghambur-hamburkan harta untuk kebutuhan yang tidak perlu, seperti membeli barang-barang mewah, berjudi, mebeli minum-minuman keras, narkoba, dll. Perilaku boros ini termasuk perilaku tercela dan pelakunya termasuk teman setan yang kafir kepada Allah SWT.  Maka dari itu sebagai umat Islam janganlah kita beperilaku boros.





Sumber:


1 komentar:

  1. Menurut saya artikel tersebut sudah jelas. Mudah untuk kita pahami selaku orang awam dan isinya juga bagus mampu menggugah orang lain tuk berbuat kebaikan dan menyantuni kaum duafa. terima kasih

    dini
    XI A 5

    BalasHapus