Selasa, 28 September 2010

Rafid Fikri IPA3

Berlomba-lomba dalam Kebaikan

Dikisahkan, bahwa orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin (sebagian kecil dari Anshar) merasa tidak bisa memperbanyak amal kebaikan, karena mereka tidak memiliki harta untuk diinfakkan. Padahal mereka selalu mendengar berbagai ayat dan hadits yang mendorong untuk berinfak, memuji orang-orang yang berinfak dan menjanjikannya surga yang luanya seluas langit dan bumi.

Di satu sisi, mereka melihat saudara-saudara mereka yang kaya berlomba-lomba untuk berinfak. Ada yang menginfakkan seluruh hartanya dan ada yang menginfakkan separuhnya. Ada yang memberikan beribu-ribu dinar dan ada juga yang membawa tumpukan hartanya kepada Rasulullah lalu beliau mendoakannya, memintakan ampunan dan keridlaan dari Allah untuk mereka.

Fenomena tersebut menggugah jiwa para sahabat yang miskin. Mereka berharap bisa mendapatkan kelebihan dan keutamaan sebagaimana yang diperoleh saudara-saudara mereka. Bukan karena dengki dengan kekayaan yang dimiliki saudaranya, dan bukan semata-mata menginginkan kekayaan. Tetapi didorong oleh rasa ingin berlomba-lomba dalam kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.

Mereka lalu berkumpul dan datang menemui Rasulullahshallallaahu 'alaihi wasallam. Dengan air mata berlinang, mereka mengadukan kondisi yang dialami lantaran tidak ada sesuatu yang bisa diinfakkan. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, orang kaya telah mendapatkan pahala yang banyak, sedangkan kami tidak. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa. Tidak ada kelebihan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi, mereka lebih dari kami karena mereka bisa berinfak dengan kelebihan hartanya, sedangkan kami tidak memiliki apapun untuk kami infakkan untuk menyusul mereka. Padahal, kami benar-benar ingin bisa mencapai kedudukan mereka. Apa yang perlu kami perbuat?”

Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang memahami keinginan mereka yang begitu kuat untuk mencapai derajat yang tertinggi di sisi Rabb-nya, dengan sangat bijak memberikan jawaban yang menenangkan. Yaitu dengan memberitahukan bahwa pintu kebaikan sangat luas. Ada beberapa amalan yang menyamai pahala orang yang berinfak, bahkan bisa melebihnya. Beliau bersabda,:


أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا



“Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa-apa yang bisa kalian sedekahkan?; Sesungguhnya setiap tasbih (subhanallah) adalah sedekah, setiap takbir (Allahu akbar) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (Laa Ilaaha Illallah) adalah sedekah, menyeru kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari yang munkar adalah sedekah, dan bersetubuh dengan istri juga sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jika di antara kami menyalurkan hasrat biologisnya (kepada istrinya) juga mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bukankah jika ia menyalurkannya pada yang haram akan mendapat dosa? Maka demikian pula jika ia menyalurkannya pada tempat yang halal, ia akan mendapat pahala.” (HR. Muslim)

Ketika orang-orang kaya dari sahabat Nabi mendengar keutamaan dzikir di atas lantas mereka ikut pula mengamalkannya. Karenanya, orang-orang fakir di atas datang kembali menemui Rasulullah untuk kedua kalinya. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, teman-teman kami yang kaya mendengar nasihatmu. Lalu mereka melakukan seperti yang kami lakukan.” Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab,


ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ

“Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya . . “ (QS. Al-Maidah: 54)

Subhanallah, begitu luar biasa keadaan para sahabat Nabishallallaahu 'alaihi wasallam, maka pantaslah jika Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan memberikan jaminan keridlaan dan kedudukan mulia di sisi-Nya. Mereka adalah orang sangat kuat semangatnya dan sangat besar keinginannya untuk beramal shalih dan mengerjakan kebaikan. Karenanya, jika ada kebaikan yang tidak bisa mereka kerjakan maka mereka bersedih. Terlebih bila saudara mereka yang lain mampu mengerjakannya. Sebagaimana kesedihan para fakir mereka yang tidak bisa bersedekah dengan harta dan tertinggal dari ikut jihad karena kemiskinan mereka.


وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ


“Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. Al-Taubah: 92)

Sesungguhnya bersaing dan berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan dan melakukan amal shalih adalah diperintahkan. Karena itu, hendaknya setiap muslim di zaman ini meniru para pendahulu mereka untuk selalu berlomba-lomba guna mendapatkan kebaikan dan untuk beramal shalih. Allah Ta’ala berfirman,


وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ


“Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah: 48)

Ayat serupa yang memerintahkan agar bersegera dan berlomba-lomba dalam kebaikan dan beramal shalih sangat banyak. Dan siapa, di dunianya, lebih dahulu dalam kebaikan maka di akhriatpun akan menjadi orang yang lebih dahulu masuk surga. Dan orang-orang yang lebih dahulu dalam amal ketaatan akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Pada ringkasnya bahwa dalam amal ketaatan, kebaikan dan ibadah harus saling berlomba untuk menjadi terbaik dan mendapatkan pahala terbesar. Tidak ada itsar (mendahulukan yang lain) dalam hal itu. Itsar hanya berlaku dalam urusan duniawi. Wallahu a’lam bil-shawab . .



Artikel 2:


Muhammad sang pencinta kaum dhuafa

Dan oleh kasih Tuhanmu kamu pun (Muhammad) bersikap lemah-lembut kepada mereka

(QS 3:159)

Demikian Tuhan sendiri menggambarkan sifat-utama pesuruhnya. Bukan hanya itu, di dalam kitab-suci-Nya Dia kabarkan:



Telah datang padamu seorang Pesuruh dari (kalangan) dirimu sendiri. Dia merasa berat atas apa-apa yang menimpamu, sangat menginginkan (kesejahteraan)-mu, dan kepada orang-orang beriman dia amatlah penyantun dan penyayang. (QS 9:128)

Kiranya, semua sifat penuh kasih dan kelembutan itu adalah suatu kenyataan logis mengingat Tuannya Muhammad s.a.w. itu telah berfirman bahwa, ia (Muhammad) tak disuruh kecuali untuk menebarkan kasih bagi alam dan segenap penghuninya (QS 21:107). Ia adalah utusan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, ia adalah suruhan Penopang dan Pemelihara alam keseluruhan.Suatu kali sahabatnya mendengar ia berkata: ”Orang-orang yang saling mencinta karena mengakui Kebesaran-Nya, hidupnya akan penuh cahaya, sehingga bahkan para nabi dan syuhada iri kepadanya.” Memang, ”tak akan masuk surga … kecuali kalian saling mencinta,” begitu dinasihatkannya.

Biografinya penuh dengan kisah-kisah fantastis yang mendemonstrasikan sifat penuh cinta-kasih seperti itu. Juga kepada anak-anak. Dia dikenal tak tahan mendengar tangis anak-anak; sebaliknya, orang melihatnya senang menggendong dan memboncengkan mereka di atas untanya. Dia senang menciumi anak-anak sehingga, ketika seorang badui mengecamnya karena mempertunjukkan sikap yang katanya kurang ”laki-laki”, dengan agak kesal dia menukas: ”Siapa yang tidak mengasihi tak akan dikasihi.”Keprihatinannya terhadap nasib para janda juga sudah merupakan bahan standar dalam uraian-biografisnya. Dia jadikan upaya mengurusi kaum yang lemah ini sebagai insentif untuk meraih surga, sebagaimana menyantuni anak yatim adalah bukti integritas keagamaan seseorang. Yang tak pernah dia lupakan, kapan saja ia bertemu anak-anak tanpa ibu-bapa ini, adalah mengusap-usap kepala mereka. Katanya: ”Orang yang menyantuni anak yatim akan bersamaku di surga, seperti jari telunjuk dan jari tengah.”



Berkiprah di tengah-tengah kaum dhu’afa, belajar dari Nabi ini, adalah tak kurang daripada perjalanan spiritual untuk menemui-Nya. Katanya: ”Temui (Dia) di tengah-tengah mereka.”

Meski perbudakan adalah sesuatu yang lazim di masanya, perlakuan Muhammad s.a.w. kepada mereka tak beda dengan terhadap manusia merdeka. Seorang budak perempuan yang bersedih karena menghilangkan uang belanja majikannya membuatnya mau menunda aktivitasnya. Digantinya uang yang hilang, diantarnya si budak ke pasar untuk membeli barang suruhan majikannya, dan ditemaninya pulang ke rumah demi menghindarkan kemarahan sang tuan akibat keterlambatan yang lama. Begitu baiknya ia kepada budaknya sendiri, Zaid ibn Haritsah, sehingga sang budak tetap memilih tinggal bersamanya bahkan ketika ia hendak diserahkan kembali kepada orangtuanya sebagai manusia merdeka. Kata sang budak, sepanjang hidupnya Muhammad tak pernah menunjukkan kekesalan kepadanya.

Rasa pemaafnya nyaris tanpa batas. Dia menjenguk musuh yang terus menghina dan menyiraminya dengan kotoran ketika si musuh didapatinya terbaring sakit. Dia menyuapi Yahudi tunanetra yang setiap hari mencacinya. Dan dia memberikan amnesti tanpa syarat kepada kaum penindas Makkah yang telah berupaya menyengsarakan hidupnya, justru ketika dia bisa melakukan apa saja setelah menaklukkan mereka. Ketika Jibril bertanya, apakah Nabi mau agar ia (Jibril) jatuhkan gunung kepada orang-orang yang menganiayanya di Tha’if, dia malah memintakan ampun atas merka. ”Karena mereka tidak mengerti,” katanya.

Tak hanya ketika di dunia saja Muhammad mempersembahkan hidupnya untuk manusia. Di ranjang-kematiannya, kata-kata yang terus terucap adalah: ”Umatku … umatku ….” Bahkan, dikabarkan bahwa, kelak di padang mahsyar sana, ketika semua orang bukan alang-kepalang kebingungan dan ketakutan, ketika ibu-ibu pun melupakan anak-anaknya karena dahsyat dan mencekamnya suasana, yang dia lakukan adalah memanggil semua orang – termasuk para pendosa: ”Halumma … halumma … (Kemarilah … kemarilah …). Biar aku berikan syafa’atku kepadamu, agar Tuhan mengampuni dosa-dosamu.”

Begitu kasihnya Muhammad pada manusia sehingga dia katakan bahwa Tuhannya ada bersama orang-orang lemah, orang-orang yang hancur hatinya, orang-orang lapar, orang-orang yang terasing dan kesepian, dan orang-orang sakit. Bahkan, tak ada Islam yang lebih utama ketimbang menyantuni mereka.

”Apakah Islam yang paling baik itu?” ia ditanya.

”Islam yang paling baik adalah memberi makan orang yang lapar dan menebarkan kedamaian di tengah orang-orang yang kau kenal maupun yang asing,” jawabnya.

Suatu kali ia pun mengajar kita: ”Barangsiapa menyayangi apa-apa yang ada di bumi, dia akan disayangi Yang di Langit.”

Kedermawanan-hatinya tak mengecualikan manusia, bahkan makhluk lain yang bukan manusia. Sudah terkenal perintahnya agar manusia tak merusak tetumbuhan, meskipun dalam kecamuk perang. Pernah dia kabarkan pula ihwal seorang pelacur yang diampuni dosa-dosa-kejinya hanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Hingga sabdanya: ”Dalam setiapyang di dalamnya melata kehidupan, ada ganjaran.”Kepada orang kafir pun tak kurang-kurang ia luapkan kedermawanan hatinya. Setidaknya ini kisah Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya : (makhluk)

Seorang kafir mengunjungi Nabi, dan Nabi pun menjamunya. Sebagaimana kebiasaan orang-orang yang hanya percaya dunia, dia makan dengan ”tujuh perut”-nya. Tapi bukan itu saja. Setelah mengenyangkan dirinya, dia berbaring di ruang tamu, dan mengotori kain linen, milik Nabi, tempatnya berbaring. Malah akhirnya dia menyelinap keluar rumah begitu saja sebelum fajar menjelang. Ketika ia terpaksa kembali untuk mengambil barangnya yang tak sengaja tertinggal di rumah Nabi, didapatinya manusia mulia ini sedang mencuci kain linen itu dengan tangannya sendiri, tanpa sedikit pun menunjukkan kekesalan kepada si kafir.

Memang, tak ada yang bisa ragu, Muhammad s.a.w. menjadikan jalan terpendek untuk bertemu Tuhan kita, tidak pada sekadar ibadah ritual belaka, bahkan tidak pada latihan-latihan mistik individual saja, melainkan pada besarnya cinta kita. Cinta kepada Tuhan Sang Maha Cinta, dan cinta pada sesama manusia.

Inilah spiritualitas yang sesungguhnya. Inilah tasawuf, sejatinya.

Doa dan keselamatan atasmu, wahai al-Musthafa!

Disunting dari: www.haddad-alwi.com




Oleh : Rafid Fikri

Kelas : XI IPA 3

5 komentar:

  1. Fernita IPA5 : Artikel diatas bisa terbilang bagus, dilihat dari segi kelengkapan bahan materi, hadist dan juga penjabarannya. Namun alangkah ledih baik jika artikel lebih diringkas sedikit :)
    makasih

    BalasHapus
  2. Makasih Pak, artikel saya dimuat dalam blog.

    @f.dwi.kurnia: iya, emang kepanjangan anrtikelnya, tetapi kalau artikelnya diringkas, semua materi atau isi artikel tidak akan tersampaikan dengan baik. punten nih.. hahaha
    tapi, makasih ya, udah comment

    BalasHapus
  3. handi 11 ipa 5 mengatakan:
    menurut saya artikel ini harus lebih di persingkat lagi. pembacalebih akan merasa nyaman jika pada artikel ini di kasih gambar atau pict dan kesimpulan dari penulisnya itu sendiri ..

    BalasHapus
  4. Moh. Dewa Bantoro (14)
    XI IPA 5

    artikelnya bagus, jelas dan cukup berbobot karena dalam artikel tersebut terdapat hadis dan beberapa ayat Al-Quran yang menjelaskan isi artikel lebih detail. selain itu artikel ini tidak monoton karena terdapat beberapa pengembangan masalah yang dapat memperjelas maksud dari artikel itu sendiri.

    BalasHapus
  5. Aini Damayanti Kelas XIipa5
    waaw, baca artikel singkat tentang sifat2 nabi Muhammad SAW jadi takjub bgt..
    pengen bgt rasa'a punya kasih sayang terhadap sesama yang sebegitu tulus seperti nabi muhammad terhadap umatnya, namun saya yakin tak semua'a bisa kita jalani, namun dengan mencoba dari hal2 yg kecil, seperti menyayangi anak2 kecil, berbuat baik pada teman, itu sudah cukup baik..

    BalasHapus