Sabtu, 25 September 2010

Merdiannawaty IPA2

TUGAS PAI
Nama         : Merdiannawaty
Kelas          :  XI IPA 2
No Absen   : 17
1.      Artikel  Tentang Perintah Berlomba-lomba dalam Kebaikan
Posisi Bekerja Dalam Kitabullah
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup.
Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat (derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah.
Disebut “fi’lun” dalam sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata “shun’un”, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik.
Disebut juga dengan kata “taqdimun”, dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”, tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”, lebih dari 20 kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”, disebut 6 kali.
Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (al-Maidah: 90, al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, al-Furqaan: 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (at-Taubah:102), pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (an-Naml:4, Fusshilat: 25).
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing.
Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut.
·        Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah (al-Baqarah:207 dan 265).
·        Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Ali Imran: 31, al-Hasyr:10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah.
Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
Kualitas Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna.
Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
1.   Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132).
     Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia.
        Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
2.    Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal.
Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa.
Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
3.    Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
·         Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
·         Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya.
Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
4.    Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
5.    Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108).
Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135).
Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
6.    Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan.
Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.
Komentar : Dalam menjalani kehidupan sudah sepatutnya kita berlomba-lomba dalam kebaikan baik hal ibadah ataupun bekerja.Namun banyak orang telah mengabaikan kode etik bekerja tersebut.Fenomena ini terjadi akibat semakin menurunnya komunikasi tiap manusia dengan Allah SWT.Mereka lebih mengutamakan kebaikan nama dan pangkatnya dibanding ridho Allah SWT dengan cara saling berlomba-lomba  menjatuhkan sesama saudaranya.Hal ini dibuktikan dengan semakin merajalelanya kasus korupsi didunia termasuk Indonesia.Sebagai generasi mendatang kita harus meluruskan kembali kode etik dalam bekerja termasuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
2.     Artikel Tentang Perintah Menyantuni Kaum Dhuafa

KAMAL MUARA - Ada yang beda dengan kiprah anak yatim di Panti Asuhan Al-Hadist Jakarta Utara. Biasanya anak yatim selalu disantuni, tetapi  anak yatim Al-Hadist yang berjumlah lebih dari 50 orang di Jalan Kamal Muara Raya, Jakarta Utara justru menyantuni anak yatim lainnya termasuk lansia dan kaum dhuafa.
Sedikitnya 200 orang terdiri dari anak yatim, lansia dan kaum dhuafa memperoleh santunan dari anak yatim Al-Hadist di 2 tempat terpisah di Kamal Muara, Jakut dan di Kebon Jeruk, Jakbar.
“Ini sebagai wujud amalan yang diteladani Rosululloh. Meski Beliau yatim tetapi sangat dermawan terutama di bulan Ramadhan,” ungkap Sanusi selaku koordinator anak Yatim Al-Hadist saat menyerahkan  200 amplop berisi uang kepada anak yatim, lansia dan kaum Dhuafa, Senin (30/8).
Ratusan amplop itu berisikan uang tunai masing-masing 25 ribu yang merupakan hasil swadaya 50 anak yatim Al-Hadist yang dikumpulkan dari uang jajan mereka dengan nilai total mencapai Rp 5 juta.
Selain  menyerahkan  amplop berisi uang tunai  untuk 200 orang anak yatim, lansia dan kaum duafha, anak yatim Al-Hadist juga menggelar buka bersama dengan biaya dari mereka sendiri dan menyerahkan bingkisan puasa dan lebaran berupa sirop dan kue kepada 50 lansia.
Hal ini dibenarkan oleh Ustadzah Mutiarawati salah seorang pengasuh anak yatim Al-Hadist menyatakan sedikitnya 50 anak yatim Al-Hadist  bersedekah  masing-masing per orang berkisar Rp 250 ribu. Sehingga bila ditotal selain untuk santunan berupa uang serta bingkisan lebaran termasuk untuk berbuka puasa mengundang lansia dan sesama yatim bisa mencapai Rp 10 juta.
"Alhamdulillah uang itu dikumpulkan dari uang yang mereka  tabung,” ungkap guru ngaji itu mengaku tabungan 50 anak yatim Al-Hadist itu sendiri diantaranya diperoleh dari  pengasuh maupun donator.
Meskipun menyantuni sesama yatim dan lansia serta kaum dhuafa lainnya, ke-50 anak yatim dan yatim piatu Al-Hadist tetap gembira. Dikarenakan selain mengharap ridho dan berkah dari Allah SWT, mereka juga tahun ini sudah punya baju lebaran dan uang saku yang sangat memuaskan.
“Bukankah bersedekah tidak harus menunggu saya kaya dulu,” ujar Nurholifah, anak yatim lainnya seraya mengungkapkan salah satu hadist yang artinya kita harus beramal  atau bersedekah dikala kita sedang luas maupun sempit.
Sementara itu, Hadiriawan selaku penanggung jawab di Panti Asuhan Al-Hadist mengungkapkan sikap berbagi ini sudah sejak jauh-jauh hari ditanamkan di Panti Asuhan Al-Hadis bukan hanya di bulan Ramadhan. Sebelumnya mereka juga membagikan hewan qurban ketika musim haji lalu yang mereka kumpulkan dari tabungan.
Bahkan anak yatim di Al-Hadist dengan sukarela mengumpulkan uang jajan mereka yang disumbangkan untuk  membeli pohon untuk ditanam di tempat mereka. Lebih dari itu juga mendukung program pemerintah turut mempromosikan wisata pesisir dengan uang jajan mereka menyewa bus mengunjungi 12 distinasi di Jakut seraya  mempromosikan obyek wisata tersebut dengan spanduk yang dibawa maupun berpuisi ajakan mensukseskan wisata pesisir Jakarta Utara.
Pada kesempatan itu Hadi atas nama Keluarga besar Panti Asuhan yatim dan Yatim Piatu Al-Hadist juga mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang selama ini telah membantu. Sikap berbagi yang diwujudkan anak yatim ditempatnya itu  bisa dilakukan karena bimbingan para pengasuh juga ada bantuan dari para dermawan yang selama ini membantu mereka.
Pada kesempatan itu Hadi atas nama Keluarga besar Panti Asuhan yatim dan Yatim Piatu Al-Hadist juga mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang selama ini telah membantu. Sikap berbagi yang diwujudkan anak yatim ditempatnya itu  bisa dilakukan karena bimbingan para pengasuh juga ada bantuan dari para dermawan yang selama ini membantu mereka.
Komentar :  Saya menilai tindakan anak-anak yatim Al Hadist patut diteladani bukan hanya bagi anak-anak yang lain tetapi juga bagi orang-orang dewasa.Mereka yang seharusnya disantuni akan tetapi dengan ikhlas dan gembira menyantuni sesamanya.Hal ini berbanding terbalik dengan sejumlah anak ataupun orang dewasa yang hanya ingin disantuni.Kebanyakan orang menabung hanya untuk memuaskan keinginannya ataupun dengan alasan untuk bekalnya dimasa depan tanpa ada yang beralasan menyisihkan uang untuk menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa.Misalkan saja fenomena yang terjadi sekarang,banyak remaja bahkan anak-anak lebih menyukai uang yang dimilikinya untuk mengganti handphonennya hanya untuk mengikuti perkembangan teknologi yang tiada henti tanpa mengindahkan  kebutuhannya.Nah,semoga saja tindakan sosial yang dilakukan anak-anak yatim Al Hadist dapat menjadi cerminan bagi kita semua.Amien ..

1 komentar:

  1. Artikelnya lengkap, kisahnya juga sangat menarik. Ya, saya juga setuju kalau tindakan anak anak yatim Al Hadist patut ditiru oleh kita semua..

    BalasHapus